Kejahatan Seksual pada Anak

Jumat, 8 Oktober 2021

Sedih. Kasus artis Indonesia yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak, namun dia masih saja diberi panggung. Mirisnya ketika baru saja keluar dari penjara, dia disambut dengan kalung bunga. Ya, selalu ada pro kontra dalam sebuah peristiwa. Bagaimana kita menyikapinya? Cari referensi bacaan sebanyak-banyaknya, diskusi dengan banyak pihak, cerna baik-baik, komentari dengan kepala dingin.

Kuy, kita perdalam ilmu tentang membekali anak menghadapi tantangan zaman, niatkan untuk kebaikan diri dan sesama, hasilnya serahkan kepada Sang Pemilik Jiwa dan Raga.

Anna Farida:

Salam sehati, Bapak Ibu. Ini Kulwap ke 275, kita akan membahas tema pengasuhan, tentang mendampingi anak membahas pelecehan seksual.

Tadi pagi saya mengobrol singkat dengan Mahmud Admin Kesayangan. Tenyata saya kudet ada berita tentang bebasnya seorang artis yang dulu dihukum karena pedofilia.
Kita tidak akan bahas kasus dan petisinya, kita akan bahas bagaimana mulai membahas masalah ini dengan anak-anak.

Saya akan sarikan sebuah artikel dari https://childmind.org/ tentang hal-hal yang bisa kita lakukan.
Singkat saja, saya berharap kita bisa berdiskusi lebih banyak.

1. Biasakan membahas bagian-bagian tubuh dengan anak sedini mungkin, gunakan nama yang benar untuk bagian tubuh, ternasuk bagian tubuhnya yang pribadi.
2. Mulailah membahas bagaimana menjaga kebersihan bagian pribadi dan siapa saja yang boleh melihat atau menyentuhnya.
3. Sampaikan pada anak bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak boleh dirahasiakan. Banyak pelaku pelecehan seksual yang mengancam anak untuk merahasiakan peristiwa pecehan.
4. Ceritakan kepada anak bahwa ada orang-orang yang jahat yang senang memotret atau menyentuh bagian pribadi anak kecil. Apa pun alasannya, anak wajib melapor jika hal itu terjadi,
5. Jika anak melaporkan hal semacam itu, tahan diri. Tenang, semendidih apa pun amarah, tenang dulu. Anak akan cenderung takut bercerita lebih jauh atau bercerita lagi jika ternyata pengakuannya membuat ayah atau ibunya panik.
6. Ajarkan kepada anak untuk berkata TIDAK dan segera mencari cara untuk menjauh dari situasi itu—misalnya sedang ada acara yang ramai orang dan ada orang yang senggol-senggol.
7. Sampaikan kepada anak bahwa aturan tersebut berlaku bagi orang yang dikenal maupun tidak, termasuk kerabat atau teman yang dianggap baik.
8. Baluri anak dengan doa. Hanya pada Allah kita minta benteng perlindungan saat mata lahir kita tidak mengawasi mereka.
Dan saya jadi mulas.


Kulwap ini disponsori oleh buku “Parenting with Heart” dan “Marriage with Heart” karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Sudah punya bukunya?
Sudah share ebook “Bincang Pengasuhan” dan “Bincang Pernikahan?
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pengasuhan.html?id=lQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pernikahan.html?id=jQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y

Salam takzim,

Anna Farida
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)

Diskusi Pengenalan Emosi Anak

Jumat, 26 Juni 2021

[6/25, 4:02 PM] Sayidah Rohmah: Materinya asik 😄

Dulu Kakak ketika “musim tantrum” mudah diajari tarik napas dalam lalu bicara dengan tenang. Sekarang adik usia 3th belum bisa diajari demikian. Masih suka nangiiiissss lama dan teriak-teriak walau sudah dilatih dengan cara sama.

Saat gak tantrum, adik tanya, “Gak boleh nangis ya, Buk?”
“Boleh kalau perlu. Kalau adik sedih atau marah, boleh nangis. Kalau minta sesuatu, gak perlu nangis, adik bilang aja, ‘Ibu, adik pingin…'”


[6/25, 4:42 PM] Anna Farida: Mantappppp

[6/25, 4:59 PM] Sayidah Rohmah: Tapi perbedaan karakter memang gak bisa boong ya Cikgu. Perlakuan yang sama belum tentu memberi hasil yang sama…


[6/25, 5:20 PM] Suci Shofia: Betul banget. Pengalaman pribadi. Setiap anak itu unik, jadi treatment-nya beda.


[6/25, 5:21 PM] Sayidah Rohmah: Iya, Kak. Belum nemu cara yang pas buat adik, nih. Didoain aja. 😁🙏🏻


[6/25, 5:22 PM] Suci Shofia: Sama aja, start and restart nyari cara yang pas, tiga anak, beda semua😁


[6/25, 5:41 PM] Uyun Kulwap: Regulasi emosi buat ortu perlu latihan terus juga nih cikgu

[6/25, 6:41 PM] Anna Farida: Start and restart

[6/25, 6:42 PM] Anna Farida: Aku ikutaaan 😁


[6/25, 6:42 PM] Anna Farida: 😂 emaaaang

[6/25, 7:04 PM] Suci Wulandari kulwap: ❤️❤️❤️ makasi cikgu

Menemani Anak di Saat Emosional Muncul

Jumat, 25 Juni 2021

Masih di Kulwap Keluarga Sehati yang selalu membahas tema pernikahan dan pengasuhan. Kali ini tema tentang emosi anak. Ada emosi positif dan negatif. Semuanya pemberian Tuhan sejak anak dilahirkan. Tidak ada yang salah dengan emosi tersebut. Emosi-emosi tersebut diberikan kepada manusia sebagai bekal dalam menjalani kehidupan berupa pengendalian emosi yang tujuannya anak kelak menjadi manusia dewasa yang matang sehingga mampu menjalankan peran sebagai manusia di dunia ini sebagai pembawa pesan kebaikan.

Kuy, simak pemaparannya bersama narasumber tetap kami, yang tercinta Anna Farida.

Salam sehati, Bapak Ibu. Ini kulwap ke 260, kita akan membahas tema pengasuhan. Saya membaca sebuah artikel tentang menemani anak-anak pada saat-saat emosional. Saya membacanya di https://www.verywellfamily.com/how-to-help-an-overly-emotional-child-4157594 ini saya sarikan untuk Bapak Ibu.

Pada usia berapa pun, menangis adalah respons normal ketika ada perasaan yang kuat meliputi kita, seperti kemarahan, ketakutan, stres, atau bahkan kebahagiaan. Kadang kita melihat bahwa anak-anak kita menangis lebih sering daripada anak lain. Dia lebih sering marah, frustrasi lebih cepat, atau terlalu bersemangat dibandingkan teman sebayanya.
Yang perlu selalu diingat adalah, kemampuan anak mengatur emosi sangat tergantung pada usia dan tahap perkembangannya. Masalahnya, orang dewasa di sekitar mereka kadang lupa bahwa mereka pun pernah mengalami masa yang serupa. Ingat, dulu kita juga sama-sama menyebalkan seperti mereka—bahkan mungkin lebih haha.

Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Langkah pertama adalah menemani anak mengenali dan mendefinisikan bagaimana perasaan mereka. Ajak mereka belajar bahwa hal-hal yang tidak berbentuk sebenarnya memiliki nama.
Katakan, “Kamu terlihat sedih sekarang,” atau “Apakah kamu sedang marah? Ibu kira kamu kecewa. Benarkah?”
Sebutkan juga emosi kita dengan mengatakan, “Ayah sedih kita tidak bisa mengunjungi Nenek hari ini,” atau “Ibu juga tidak menyangka teman-temanmu bisa bersikap seperti itu, ya.”
Kita juga bisa memulai percakapan tentang perasaan dengan membicarakan karakter dalam buku atau film. Sesekali, ajukan pertanyaan seperti, “Menurutmu, bagaimana perasaan tokoh ini?” Dengan latihan sederhana semacam itu, kemampuan anak untuk mengenali dan menyebutkan emosi mereka akan meningkat.
Kesadaran emosional dapat membantu anak-anak menjadi kuat secara mental, bahkan ketika mereka merasakan emosi secara mendalam.
Penting juga bagi anak-anak untuk belajar bagaimana mengekspresikan emosi mereka pada tempat yang sesuai. Berteriak keras di minimarket atau meluapkan amarah di sekolah, misalnya, itu ada syarat dan ketentuannya.
Beri tahu anak-anak bahwa tidak apa-apa jika mereka merasa sangat marah atau benar-benar takut. Ajak mereka berdiskusi, kelaskan bahwa mereka memiliki pilihan dalam menanggapi perasaan tidak nyaman itu.
Sampaikan bahwa mereka memiliki hak untuk marah pada teman, misalnya. Tapi kemarahan itu tidak memberi mereka izin untuk memukul mereka. Mereka dapat merasa kesal karena ingin es krim sedangkan uang Ibu habis, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka boleh berguling-guling di lantai sambil menangis dan mengganggu orang lain.

Sampaikan ini pada saat situasi santai, bukan saat ledakan emosi terjadi.
Saat emosi telanjur meledak ya jangan diajak diskusi. Peluk saja sampai tenang dan katakan Ibu juga sedih, Ayah juga kesal.

Satu hal yang juga penting adalah jangan mengecilkan perasaan anak. Hindari berkata “Sudah, dong, jangan kesal terus. Cuma kaya begitu aja kok. Ini bukan masalah besar”
Ini sama saja dengan mengajarkan bahwa perasaan mereka salah. Konsepnya adalah perasaan apa pun baik-baik saja—bahkan jika menurut kita perasaaan itu tidak proporsional.

Jadi, ketika kita pikir mereka marah, sedih, frustrasi, malu, atau kecewa, sebutkan namanya. Kemudian, tunjukkan bahwa kita memahami bagaimana perasaan mereka.
Pada saat yang sama, bantu anak memahami bahwa emosi dapat berlalu begitu saja dan perasaan mereka sekarang tidak akan bertahan selamanya—bahwa nanti mereka aka gembira lagi.
Kadang anak juga kesal lantas menangis, dan mereka kemudian kesal karena mereka tidak tahu caranya berhenti menangis ehehehe.

Dalam situasi seperti ini, cara kita menanggapi emosi anak sangat penting.
Kadang, alih-alih membuat anak tenang, kita bikin mereka tambah meledak.

Mungkin tip ini bisa jadi alternatif:

+ Tawarkan kepada anak makanan khusus setiap kali mereka menenangkan diri, bukan pada saat mereka meledak.
+ Bikin suasana dan badannya nyaman, misalnya mandi bersih, mengganti bajunya—biasanya keringatan tuh kalau habis mengamuk ehehe.
+ Jangan banyak bicara. Menenangkan anak terus-menerus dengan ucapan, “Sudah, jangan kesal lagi” bisa membuat mereka malu dan tambah kesal.
+ Biarkan mereka menangis dulu, amankan barang berbahaya dari dekat mereka—siapa tahu mereka dapat ide untuk berguling atau melempar sesuatu (ide dari mana ini?)
+ Jangan umumkan bahwa anak sensitif kepada guru atau teman, misalnya “Maklum aja, ya, nanti kalau Alif marah. Dia memang begitu.”
+ Pada kondisi tertentu, saat segala tip tidak memberikan hasil yang baik, bantuan profesional bisa dilibatkan—siapa tahu anak atau justru orang tua yang perlu bantuan.

Sudah kepanjangan, mari berbagi pengalaman saja.


Kulwap ini disponsori oleh buku “Parenting with Heart” dan “Marriage with Heart” karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Sudah punya bukunya?
Sudah share ebook “Bincang Pengasuhan” dan “Bincang Pernikahan?
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pengasuhan.html?id=lQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pernikahan.html?id=jQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y

Salam takzim,

Anna Farida
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)

Diskusi Kehilangan di Mata Anak

[7/2, 4:19 PM] Lina Kulwap: Terimakasih banyak materinya cikgu, sangat menyentuh, dan mungkin benar.. waktu itu anak-anak terabaikan, karena kita sibuk menyiapkan ini dan itu😭,🙏🙏


[7/2, 4:22 PM] Lina Kulwap: Mohon doanya, supaya perasaan si kecil segera membaik, dan kembali ceria 🙏


[7/2, 6:23 PM] Anna Farida: Peluk, Linaaaaa 🤗🤗🥰


[7/2, 6:27 PM] Sayidah Rohmah: 🥺🥺🥺
[7/2, 6:32 PM] Nuzul Quryati Hartawati kulwap: Sempat mengalami ini 3 bulan lalu, mendampingi ponakan yang sedih ditinggal kakeknya 🥺


[7/2, 8:55 PM] Suci Shofia: 😔 semoga dia kuat bisa melewatinya ya, Mbak
[7/2, 8:56 PM] Suci Shofia: Amin ya rabbal alamin🤲🏻


[7/3, 7:23 AM] adjeng kulwap: Mbak Suci, saya juga baru saja menjadi yatim piatu. Sedih karena ditinggal ibu 3 tahun y.l belum usai, kini ditinggal bapak.
Benar apa kata Cik Gu, momen kedukaan ini menjadi ajang belajar bersama bagi kami.


[7/3, 7:35 AM] Anna Farida: Duka itu tidak akan hilang walau tahun berlalu. Kami turut berduka, Adjeng.
[7/3, 7:35 AM] Anna Farida: Semoga Allah muliakan orang tua kita semua selamanya 🤲🤲


[7/3, 7:37 AM] adjeng kulwap: Terima kasih, Cik Gu

Berita Kehilangan di Mata Anak

Jumat, 1 Juli 2021 mengawali bulan Juli masih dalam kondisi pandemi yang semakin mengiris hati, mendengar kabar satu persatu teman, sahabat, saudara pergi. Ternyata anak-anak pun memiliki cara untuk mengungkapkan isi hati terkait perginya orang yang mereka sayangi.

Kuy, simak materinya bersama narasumber tetap kami, Anna Farida.

Salam sehati, Bapak Ibu. Ini kulwap ke 261, kita akan membahas tema pengasuhan lagi, sesuai masukan dari salah satu peserta.

Saat ini sedang banyak berita duka berasal dari kawan dan kerabat. Anak-anak tak lepas dari suasana duka yang dialami oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya.

Ketika keluarga kehilangan seseorang, suasana duka yang melingkupi juga dirasakan anak-anak. Pada sebagian anak, rasa duka itu bisa membuat mereka memendam rasa dan membawanya jauuuh ke dasar hati. Ketika dia hendak menyampaikan kegundahannya, suasana di rumah sedang tidak memungkinkan, dan orang tuanya pun sedang tidak siap diajak bicara tentang kehilangan yang sama. Spontanitasnya tertahan, dan bukan tidak mungkin, dia membiarkan rasa itu tidak selesai.

Dengan daya imajinasi anak yang masih kuat, dengan kemampuannya memisahkan kenyataan dan khayalan yang belum sepenuhnya berkembang, anak bisa menciptakan berbagai macam keyakinan, misalnya: ibuku sedih karena Nenek meninggal, dia menangis terus, sementara aku malah merasa lapar dan ingin makan. Aku jahat karena lapar pada saat semua orang sedih kehilangan nenek.

Ada juga yang berpikiran, aku tidak suka jadi orang dewasa karena nanti lama-lama orang dewasa menjadi tua dan meninggal. Saat aku meninggal, orang-orang menangis karena kehilangan aku. Aku tidak ingin membuat mereka semua bersedih.

Ternyata pikiran semacam itu ada pada anak-anak.
Apa yang bisa kita lakukan?

+ Benar, kita sedih karena kehilangan. Anak-anak juga sedih—bisa karena kehilangan juga, bisa pula merasa tidak aman karena melihat kita sedih. Anak biasa kita lindungi ketika mereka sedih—mereka cemas jika orang yang melindunginya dalam kondisi sedih pula.

+ Sampaikan kepada anak bahwa rasa sedih itu wajar, bahwa Ibu menangis karena sayang pada Nenek, misalnya. “Ibu sedih karena tidak bisa lagi bersama Nenek, tapi Ibu masih punya kamu. Ibu minta waktu, ya.”

+ Perhatikan keperluannya—makan, mandi, istirahat. Jika kondisi tidak memungkinkan, segera minta bantuan orang dewas tepercaya untuk mengambil alih urusan sementara, sehingga anak tidak merasa ditinggalkan atau diabaikann.

+ Setelah hari berganti, libatkan anak dalam suasana itu. Coba sampaikan begini, misalnya anak senang main game dan suka level-levelan.
Saat ini level sedih Ibu 9, kemarin 10. Ibu perlu waktu untuk mengurangi levelnya—kamu mau bantu Ibu? Apakah kamu juga merasa sedih? Level berapa?

Ketika dia bertanya apakah rasa sedih itu akan hilang?
Sampaikan bahwa ada beberapa hal yang bisa menghibur kita dari rasa kehilangan, tapi rasa sedih itu sebenarnya tidak akan pergi—karena kita tetap sayang Nenek dan tetap sedih karena kehilangan Nenek. Ayo kita saling menghibur 🙂

Tidak semudah menuliskannya.
Sambil menulis juga saya menahan sesak di dada karena ingat mereka yang telah tiada.
Anak-anak akan belajar banyak melalui rasa sedih dan kecewa. Tugas kita menemani mereka, berdamai dengan kesedihan pun bersama mereka 🙂

Kulwap ini disponsori oleh buku “Parenting with Heart” dan “Marriage with Heart” karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Sudah punya bukunya?
Sudah share ebook “Bincang Pengasuhan” dan “Bincang Pernikahan?
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pengasuhan.html?id=lQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pernikahan.html?id=jQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y

Salam takzim,

Anna Farida
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)

Angpau Di Hari Raya

Jumat, 28 Mei 2021

Kulwap kali ini membahas tema seputar dunia pengasuhan. Sudah jamak diketahui saat hari raya, istilah angpau seperti tak terpisahkan dengan perayaan yang satu ini. Bagaimana menyikapi penghasilan tahunan ini kepada anak?

Adakah rasa khawatir anak akan memiliki mental miskin? Atau secara tidak sadar merespon kekesalan diri karena anak tidak dapat jatah angpau sama Tante A, I’m B, juga kakek nenek, lalu dibahas di setiap perjumpaan? Atau dibawa happy aja, “Mayan ada uang jajan buat anak. Ga usah ngasih buat setahun ke depan😁.”

Kuy, simak pembahasan dunia per-angpau-an bersama Mbak Anna Farida, pemateri tetap Kuliah Via WhatsApp Keluarga Sehati.

Salam sehati, Bapak Ibu.
Ini kulwap ke 256, suasana Lebaran masih tersisa bagian ujungnya. Kita akan membahas tema pengasuhan, Lebaran bukan sekadar angpau.

Dulu, ketika anak-anak saya masih kecil, Lebaran adalah masa-masa mereka mendadak kaya raya. Kami punya keluarga besar dan punya banyak teman, dan anak-anak saya sering mendapatkan angpau. Anak yang lebih besar menyimpan uang mereka sendiri, anak yang lebih kecil menitipkan uang mereka ke saya. Artinya … pada akhirnya angpau bakal lenyap di tangan saya. Ehm.

Eh, ternyata mereka ingat.
Ketika mereka mulai gede, mereka bilang “Aku simpan sendiri saja. Kalau dititipkan Ibu nanti habis.” Haha. Habis sudah peluang saya untuk ikut jadi kaya raya sejenak.

Beberapa tahun kemudian, anak-anak yang besar mulai malu menerima angpau sebagaimana adik-adiknya. Beberapa tahun kemudian nenek dan mbah buyut mereka meninggal, kami jadi jarang mudik, jarang keliling ke keluarga besar. Mulailah anak-anak melewatkan Lebaran tanpa angpau. Sesekali saja mereka menyinggung tentang Lebaran yang tanpa angpau ini—sesekali karena Lebaran memang hanya setahun sekali, kan?

Mulailah kami berdiskusi, apa makna Lebaran dan apa makna angpau bagi mereka.

Ternyata, setelah berbicara ke utara dan ke selatan—ngalor ngidul bahasa Jawanya–, ternyata yang mereka peroleh adalah rasa gembira karena pemberian. Bukan masalah jumlah uangnya atau barang-barang baru yang mereka terima, tapi rasa gembira yang mereka terima.

Saya tidak menyadari sebelumnya bahwa tradisi memberi dan menerima angpau itu punya dampak sedemikian khusus bagi anak-anak. Saya kira urusannya hanya mereka dapat tambahan uang saku dan mereka membeli sesuatu yang tidak bisa mereka beli sebelumnya. Ternyata lebih dari itu.

Dengan demikian, bisakah kita mengajak anak-anak melakukan hal yang sama?
Apa yang bisa kita tularkan kepada anak-anak?
Memasukkan rasa gembira pada hati orang lain—siapa pun itu.

Kepada anak-anak kita bisa berkata bahwa kegembiraan yang mereka terima bisa dilipatgandakan dengan melakukan hal yang sama, berbagi kegembiraan.

+ Ajak mereka sesuai umur untuk menyatakan apa yang membuat mereka gembira. Ajak mereka memilih hal apa yang bisa dilakukan untuk membuat orang lain merasakan kegembiraan yang sama.

+ Perhatikan apa yang menjadi hal yang membuat gembira di luar hari raya, dan ajak mereka membuat daftar siapa suka apa, dan rencana apa yang bisa mereka lakukan untuk menyebarkan kegembiraan itu.

+ Pastikan anak-anak paham bahwa yang penting adalah perhatian dan kegembiraan, bukan nilai barang dan jumlah uangnya.

+ Mereka bisa membuat sesuatu seperti kartu ucapan sendiri, mengirim gambar, menelepon, membuat panggilan video, atau hal lain yang bisa dilakukan sendiri.

Nah, menuliskannya saja membuat saya gembira. Semoga Teman-teman pun demikian.
Mari berbagi pengalaman.

Ada yang anak-anaknya masih dapat angpau?
Dititipkan ke siapa angpau anak-anak itu?
Ehehe.


Kulwap ini disponsori oleh buku “Parenting with Heart” dan “Marriage with Heart” karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Sudah punya bukunya?
Sudah share ebook “Bincang Pengasuhan” dan “Bincang Pernikahan?
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pengasuhan.html?id=lQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pernikahan.html?id=jQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y

Salam takzim,

Anna Farida
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)

Diskusi Singkat Kecenderungan Akhiri Hidup Pada Remaja

[2/12, 3:09 PM] Sayidah Rohmah: Temanya suram tapi penting. Sepanjang membaca materi ini saya terbayang seorang sahabat yang mengalami gangguan bipolar dan sudah 3x mencoba bunuh diri. Tanpa sebab, tanpa tanda-tanda. Juga beberapa kali saya mendengar seorang anak (yang sudah memasuki usia dewasa) menyatakan ia bertahan hidup hanya demi ibunya. Kalau ibunya sudah dipanggil Yang Kuasa, maka hilang juga keinginannya untuk hidup.

Mendapati yang seperti ini, saya tidak tahu mau berkata apa. Rasanya hanya bisa menggantungkan pada doa agar anak-anak bisa merasakan kebahagiaan selama menjalani kehidupan di dunia hingga di akhirat nanti.


[2/12, 4:10 PM] Suci Shofia: Iya, betul, Dik Say, bila beragam usaha sudah dilakukan dengan maksimal, harapan utama hanya pada Dia dengan terus menerus mengetuk pintu langit (doa).


[2/12, 5:02 PM] Tuti Herawati Kulwap: Bahasan yang sangat serius.
Thanks for sharing. 🙏💝

I dont know what to comment.
Pengetahuanku tentang ini minim sekali.


[2/12, 5:29 PM] Niar Kulwap: Teman saya juga bipolar dan gangguan kepribadian ambang.
Di awal-awal kena, dia betul-betul struggling dari keinginan bunuh diri, merasa tidak berguna, dan panic attack.
Yang dari bisa mengendarai motor, sekarang dia gemetaran kalau duduk atau menyentuh motor.

Menurutnya, ada satu titik yang entah kenapa dan bagaimana terpicunya, yang membuat dia selalu mendapat bisikan tiba-tiba untuk mati, untuk menyakiti diri sendiri (seperti menggores tangan dengan ujung pensil mekanik yang tajam, meninju kaca lemari dan sejenisnya).

Yang membuat dia bertahan sekarang salah satunya karena cepat menyadari ketidakberesan ini dan menemui psikiater dan psikolog.

Dari ceritanya ke saya, psikolog inilah yang selalu menyuntikkan pesan positif, “Jika kamu mati (bunuh diri), masalahmu di dunia mungkin saja selesai.. Tapi masalahmu di akhirat baru saja dimulai…”
Dan itu ternyata cukup efektif membuat dia berusaha untuk berpikir positif.


[2/12, 10:03 PM] Tina Kulwap: Saya pernah merasakan masa remaja yang sulit. Serupa itu. 😔


[2/12, 10:17 PM] Anna Farida: Iya, bahasan berat dan sebenarnya saya hindari sejak lama.

Setidaknya kita punya wawasan walau sedikit.

Ayo peluk anak-anak.

Kecenderungan Akhiri Hidup Pada Remaja

Jumat, 12 Februari 2021

Tak terasa sudah di tengah bulan Februari, ya. Bulan ini selalu mengingatkan saya pada Ibuk, karena beliau lahir di bulan ini. Sehat selalu, ya, Buk. Tema tentang remaja memang sangat menggelitik dan bikin panik juga. Hehehe. Usia tanggung antara anak ke dewasa muda, hormon aktif secara bersamaan, membuat pemilik tubuh jadi uring-uringan, ditambah stres yang dia hadapi mungkin sejak dalam kandungan efek dari ibu yang mengalami masalah ketika hamil. Cus yuk simak pemaparan materi dari narasumber tetap kami, Mbak Anna Farida yang cerdas dan humoris.

Salam sehati, Bapak Ibu.
Ini kulwap ke 246, kita akan membahas tema parenting yang sudah lama diajukan tapi saya tunda terus membahasnya karena saya tidak punya pengalaman dan bacaan cukup. Meski demikian, kita akan bahas hari ini, saya sarikan dari beberapa sumber, “Mengapa Ada Kecenderungan Bunuh Diri pada Remaja”.

Beberapa penelitian menemukan bahwa masa remaja bisa jadi masa yang sulit—masa yang penuh tekanan dan gejolak. Pada saat yang sama, tak kurang pula penelitian yang menyebutkan bahwa masa remaja sangat bisa dilalui dengan mulus—syarat dan ketentuan berlaku.

Artinya, ada wilayah abu-abu yang tidak kita ketahui dan bisa mengemuka di luar pengawasan kita—ini bukan bikin parno, tapi memang kita perlu waspada.

Kecenderungan bunuh diri pada remaja ini lebih berisiko bagi remaja yang memang memiliki masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan lain. Hal yang sama juga berlaku bagi remaja yang sedang mengalami masalah seperti masalah keluarga, masalah di sekolah, dan lingkungan sekolah.

Apa tanda-tanda yang perlu diwaspadai?
(ini saya sarikan dari https://kidshealth.org/)
+ saat mereka berbicara tentang kematian atau bunuh diri
+ memberi isyarat bahwa suatu saat mereka akan pergi atau tidak ada lagi
+ menarik diri dari keluarga atau teman
+ menyatakan rasa bersalah berulang-ulang
+ menulis surat atau puisi atau lagu tentang kematian
+ mulai memberikan barang-barang yang mereka sukai kepada saudara atau teman
+ menjauh dari kegiatan yang semula mereka sukai
+ melakukan tindakan berbahaya atau melukai diri sendiri


Apa yang bisa dilakukan orang tua?

Banyak di antara kasus bunuh diri pada remaja didahului dengan isyarat yang disampaikan kepada orang-orang terdekat terutama keluarga. Karenanya, penting sekali mengetahui tanda-tenda tersebut agar remaja mendapatkan bantuan secepatnya.
Sebagian orang tua beranggapan bahwa anak-anak yang melukai diri sendiri hanya cari-cari perhatian.
Iya, kalaupun mereka cari perhatian, sebenarnya masalah sudah terjadi di sini. Perlu disadari bahwa jika mereka cari perhatian dan tetap tidak dapat, perilaku melukai diri sendiri ini bisa meningkat pada level yang membahayakan nyawa.

So, caper tidak untuk diabaikan. Caper bisa berarti alarm agar orang tua mulai perhatian dan lebih perhatian.

Kepada remaja yang mulai menarik diri—ini lawan dari caper—berikan waktu untuk didengarkan. Kadang mereka hanya ingin didengarkan. Bentuk menarik diri ini bukan hanya dengan cara menjauh dari keluarga, tetapi bisa juga berupa sikap membangkang, masalah dengan teman di sekolah atau saudara, kurang tidur, uring-uringan, atau bentuk lain yang membuat mereka tidak bisa bergabung dengan keluarga.

Kapan perlu bertanya?
Apakah orang tua perlu bertanya tentang kecenderungan bunuh diri ini pada anak remaja? Membahasnya secara umum tentu penting. Kejadian ini ada di pemberitaan, mungkin di lingkungan kita. Ajak mereka berpendapat bagaimana mereka menyikapinya.
Tanyakan jika mereka berada pada posisi yang serupa dengan korban yang diberitakan itu, apa yang akan mereka lakukan.
Tanyakan saja, simak. Tak perlu mengubah tanya jawab menjadi ceramah. Cukup tutup diskusi dengan berkata, “Ayah Ibu ada. Kalau kamu ada masalah dan ingin dibantu, kami ada.”

Sudah lebih dari 500 kata dan membahas soal ini saya jadi lapar.
Btw ada film pendek atau serial yang pernah saya tonton tentang remaja yang terbawa gelombang bunuh diri karena game online—ada semacam tantangan adu nyali dan salah satunya adalah percobaan bunuh diri—anak saya pernah juga bercerita, ada game semacam ini pernah beredar dan saya tidak pernah tahu.
Ada yang tahu?
Betapa mulas saya mendengarnya.



Kulwap ini disponsori oleh buku “Parenting with Heart” dan “Marriage with Heart” karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Sudah punya bukunya?
Sudah share ebook “Bincang Pengasuhan” dan “Bincang Pernikahan?
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pengasuhan.html?id=lQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y
https://books.google.co.id/books/about/Bincang_Pernikahan.html?id=jQBvDwAAQBAJ&redir_esc=y

Salam takzim,

Anna Farida
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)

Tanya Jawab Sisi Spiritual Anak

Tanya 1:
Bu, apakah beda sisi spiritual dan religius? Menyikapi berbagai perbedaan dalam lingkungan sekitar kita, sisi apa yang patut kita tampilkan? Terima kasih.

Jawaban Bu Elia:
Saya akan memberikan jawaban dengan mengutip beberapa definisi dari berbagai sumber.

Religius itu berasal dari bahasa latin religare yang berarti menambatkan atau mengikat. Dalam bahasa Inggris disebut dengan religi, dimaknai dengan agama. Dapat dimaknai bahwa agama bersifat mengikat, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam ajaran Islam hubungan itu tidak hanya sekadar hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, akan tetapi juga meliputi hubungan dengan manusia lainnya, masyarakat atau alam lingkungannya.
(Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 2).

Spiritual adalah suatu usaha dalam mencari arti kehidupan, tujuan dan panduan dalam menjalani kehidupan bahkan pada orang-orang yang tidak memercayai adanya Tuhan. (Ellison, 2002).

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Sang Pencipta (Achir Yani, 2000).

Nah, dalam ilmu psikologi ada kajian khusus perkembangan kesadaran beragama. Jadi salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah yaitu ketika seseorang dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan melaksanakan ajarannya. Artinya dikaruniai insting dan naluri untuk beragama.

Fitrah keagamaan ini merupakan kemampuan dasar yang berpeluang untuk berkembang. Namun demikian, mengenai kualitas dan arah perkembangan beragama anak, sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Perkembangan beragama seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan.

Sebagai homo religius yang memiliki fitrah bawaan, baik yang lahir pada zaman primitif maupun modern, yang lahir di negara komunis ataupun kapitalis, memiliki orang tua saleh atau pun tidak, menurut fitrahnya manusia memiliki kepercayaan adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur kehidupan secara keseluruhan. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini memang sudah ada secara alamiah dan diasah melalui bimbingan dalam perjalanannya. Itu yang pada akhirnya disebut sebagai bimbingan dalam pendidikan agama.

Bimbingan dan pendidikan yang anak dapatkan sejak kecil akan menjadi pedoman dan nilai-nilai kehidupan beragama anak dalam hidupnya.

Dalam internalisasi nilai-nilai tersebut, tentunya diperlukan pemahaman orang tua dalam menanamkan pemahaman yang disesuaikan dengan tahapan usianya.
Bukan sekadar menjalankan ritual saja, namun dengan berjalannya waktu anak harus memahami bahwa makna beragama itu bukan sekadar hubungan antara kita dengan Tuhan, namun semua saling terkait seperti hubungan dengan sesama. Orang yang memiliki kehidupan religi dan spiritual yang baik, akan tergambarkan pula dalam kehidupan yang baik juga dengan sesama.

Dengan demikian selain memang setiap orang memiliki bawaan fitrah beragama, faktor lingkungan eksternal menjadi hal terpenting dalam mengawal perkembangannya, yaitu:

1. Lingkungan keluarga.
2. Lingkungan sekolah.
3. Lingkungan masyarakat.

Namun tetap saja keluarga menjadi lingkungan pertama dan utama bagi anak sebagai sekolah kehidupan yang membentuk karakter diri anak. Gurunya adalah kita sebagai orang tua, dan muridnya adalah anak- anak kita, lalu sekolahnya bernama keluarga.

Mengenal Sisi Spiritual Anak

Jumat, 1 Januari 2021

Awal tahun, semangat semakin membuncah, ya. Selalu dekatkan diri dengan Sang Maha Penyayang yang kasih sayangnya terlihat jelas dalam diri anak-anak kita. Yuk simak pembahasan materi Mengenal Sisi Spiritual Anak bersama Anna Farida.

Salam, Bapak Ibu, ini kulwap ke 239. Kita akan membahas tema parenting, mengenal sisi spiritual anak.

Kita pernah membahas tema menghadirkan Tuhan dalam keseharian anak. Artinya, orang tua secara aktif menemani anak mengenal dan melibatkan Tuhan dalam kehidupan mereka.
Kali ini, kita akan mengenali “God Spots” dalam diri anak.
Bisa jadi istilah ini kurang pas juga, titik-titik ketuhanan dalam diri anak. Mungkin Bapak Ibu menemukan istilah yang lebih tepat. Kita juga mengenal istilah kecerdasan spiritual yang dikemukakan para ahli dan sempat menjadi isu mana yang lebih penting, kecerdasan ini atau yang lain.

Kita tidak hendak bergabung dalam perdebatan tersebut, tetapi akan membahas bagaimana kita mengenali sisi spiritual anak dan ikut memupuknya.

Secara umum, sejak kecil, anak terpesona pada dirinya, dan kemudian mulai terpesona pada apa pun yang bukan dirinya.
Secara naluriah anak akan mencari asal apa pun yang menarik perhatiannya—ini yang membuat anak-anak terjungkal karena ingin tahu, tercebur ke kolam, atau melakukan berbagai hal yang dianggap sebagai kekonyolan oleh orang dewasa.

Begitu pun dengan sisi spiritualnya.
Anak mencari muasal keberadaannya, mencari hal-hal yang lebih besar dari dirinya, tetapi kadang mereka belum mampu membahasakannya.
Di sinilah peran orang tua.

Ada anak yang sejak kecil penasaran mengapa cabai itu pedas, mengapa cabai bisa memerah dan tidak semanis apel yang sama merahnya. Kadang mereka bertanya kenapa aku harus ada, buat apa semua manusia harus ada, siapa yang menciptakan manusia pertama, dan berbagai pertanyaan lain yang membuat kita bisa melongo tiga detik dulu baru menjawabnya.

Ketika anak bertanya tentang hal itu, sebenarnya sisi spiritualnya yang bertanya—kita pun sebagai orang dewasa juga sering bertanya-tanya dan kadang tidak juga mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Lantas apa yang bisa kita lakukan?
+ Temani dia. Jika kita tidak bisa menjawab pertanyaannya, temani saja. Kadang yang dia perlukan hanya ditemani, karena bagi anak-anak kecil, jawaban secanggih apa pun mungkin belum dia pahami.
“Iya, ya, Bunda juga heran. Kok bisa pedas, ya?”

+ Ajak belajar bersama. Anak bisa diajak mencari tahu dan belajar dari sisi yang lebih terlihat dan bisa dipahami, misalnya ilmu alam dan ilmu sosial. Sebisanya.
Kadang kualitas jawaban orang tua bukan isu di sini. Yang paling utama adalah kemauan kita menemani dan berbagi rasa penasaran yang sama.

+ Lakukan bersama. Dulu, saya bilang “Tar, ya, Ibu cari tahu dulu”.
Dan saya memang cari tahu, lho. Setelah beberapa saat saya kembali pada anak dan berusaha menjelaskan hasil temuan saya. Eh, anak saya bertanya, “Aku pernah tanya itu, ya?”
Deziiiggg.
Karenanya, saya ubah strategi. Saya jawab secara langsung semampu saya, saya ajak dia browsing atau cari informasi saat itu juga, atau bertanya ke orang lain, dan saya melakukannya bersama.
Kalimat “Tar Ibu cari tahu dulu” kadang modus saya untuk melarikan diri dari ditanya anak macam-macam.

+ Hidupkan kebiasaan. Ada kebiasaan spiritual yang bisa dihidupkan bersama sesuai usia anak. Dulu saat anak masih kecil, saya biasa menemani mereka membaca doa sebelum tidur, misalnya. Sekarang kebiasaan itu bergeser pada kegiatan spiritual lain. Kebiasaan ini tidak selalu perlu dijelaskan, tetapi tidak juga dijadikan beban sehingga berubah menjadi kegiatan yang tidak menyenangkan.

+ Doakan selalu. Sisi spiritual anak bisa tumbuh dalam bentuk yang berbeda-beda. Bagi saya pribadi, ini misteri yang menjauhkan saya dari sikap sok teu – walau masih sering sok teu juga, sih.
Doakan agar anak-anak senantiasa dekat dengan Allah, mengenal-Nya dan mencintai-Nya, melalui panduan kita maupun panduan lain yang bertebaran di muka bumi.

Salam takzim,

Anna Farida
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)